Cari Blog Ini

Jumat, 24 Januari 2014

Waspada Herpes pada Ibu Hamil !!



Herpes Simplex

          Definisi
Herpes adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritomatosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun sekunder. Ada tujuh virus yang dapat menyebabkan herpes yaitu Herpes Simplex Virus, Varizolla Zoster Virus (VZV), Cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr Virus (EBV), dan Human Herpes Virus tipe 6 (HHV-6), tipe 7 (HHV-7), tipe 8 (HHV-8). Semua virus herpes memiliki ukuran dan morfologi yang sama dan semuanya melakukan replikasi pada inti sel.
  Herpes Genitalis pada Kehamilan

Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, maka perlu mendapat perawatan yang serius, karena melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal, serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup menderita cacat neorologik atau kelainan organ seperti mata.
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis, disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan memilih partus dengan SC, bila saat partus ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini diambil sebelum selaput amnion pecah atau paling lambat 6 jam setelah selaput amnion pecah.
Di amerika frekueansi herpes neonataladalah 1 per 7500 kelahiran hidup. Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus; sedangkan bila pada trimester II akan terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intra partum.


          Etiologi dan Faktor Predisposisi
Virus herpes simpleks tipe I dan II merupakan virus hominis DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic, dan lokasi klinis (tempat predileksi).

          Patofisiologi
HSV-1 menyebabkan munculnya gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar mata. HSV-2 atau herpes genital ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebabkan vagina terlihat seperti bercak dengan luka mungkin muncul iritasi, penurunan kesadaran yang disertai pusing, dan kekuningan pada kulit (jaundice) dan kesulitan bernapas atau kejang. Biasanya hilang dalam 2 minggu infeksi, infeksi pertama HSV adalah yang paling berat dan dimulai setelah masa inkubasi 4 - 6 hari. Gejala yang timbul meliputi nyeri, inflamasi dan kemerahan pada kulit (eritema), dan diikuti dengan pembentukan gelembung - gelembung yang berisi cairan bening yang selanutnya dapat berkembang menjadi nanah diikuti dengan pembentukan keropeng atau kerang (scab).
Setelah infeksi pertama, HSV memiliki kemampuan yang unik untuk bermigrasi sampai pada saraf sensorik tepi menuju spinal ganglia dan berdormansi sampai diaktifasi kembali. Pengaktifan virus yang berdormansi tersebut dapat disebabkan penurunan daya tahan tubuh, stres, depresi, alergi pada makanan, demam, trauma pada mukosa genital, menstruasi, kurang tidur, dan sinar ultraviolet.

Tanda dan Gejala serta Komplikasi
A. Gejala klinis
- lepuhan-lepuhan kecil yang berisi cairan dan pecah-pecah di kulit (lepuhan kadang terasa nyeri) cenderung membentuk kelompok, yang bergabung satu sama lain membentuk sebuah kumpulan yang besar
- lepuhan yang dikelilingi oleh daerah yang kemerahan dapat muncul di mana saja pada kulit atau selaput lendir, tapi paling sering terjadi dalam dan sekitar mulut, bibir dan kelamin
- beberapa hari kemudian lepuhan mulai mengering dan membentuk keropeng tipis yang berwarna kekuningan serta ulkus (luka) yang dangkal
(Encyclopedia of diseases and the solution, 2012)

          Inveksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkatan.
1.     Infeksi primer
2.     Infeksi Laten
3.     Infeksi rekurens

1.     Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang menggigit jari (herpetic Whitlow). 



Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe II mempenyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonates.
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat pada daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese, dan anoreksia. Selain itu dapat juga ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi kusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tnpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibody virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.

2.    Fase Laten
Pada fase ini tidak akan detemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.

3.    Infeksi Rekurens
Hal ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal local sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).

B. Pemeriksaan Pembantu Diagnosis
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakan. Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibody VHS. Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.

C. Diagnosa Banding
Herpes simpleks di daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan impetigo bulosa. Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, dan ulkus mikstum, maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venerum.

Penatalaksanaan
Hingga saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal, artinya tidak ada pengobatan yang dapat mencegah fase rekurens secara tuntas. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salep/krim yang mengandung preparat idoksuridin  (stoxill, viruguent, viruguent-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan interval beberapa  jam. Preparat asiklovir (zovirax) yang dipakai secara topical dapat mengganggu replikasi DNA virus. Pengobatan klinis hanya bermanfaat jika penyakit sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres.
Pengobatan oral berupa preparat asiklovir, tampaknya memberikan hasil yang lebih baik. Fase aktif menjadi lebih singkat dan masa rekurensnya lebih panjang. Dengan dosis 5 x 200 mg sehari selama 5 hari.
Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditujukan pada penyakit yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula dengan preparat adenine arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat glikoprotein yang dapat menghambat reproduksi virus, juga dapat menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai secara parenteral.
Terapi yang disarankan untuk memperkuat imunitas tubuh:
  (Antioksidan penangkal radikal bebas serta berfungsi meningkatkan kekebalan 
  tubuh)
- SGF
(makanan padat gizi untuk membantu menstimulasi sistem daya tahan tubuh. juga 
mencukupi kebutuhan kebutuhan vit. A, B compleks dan C untuk mencegah agar 
tidak terjadi penyebaran infeksi (infeksi tidak semakin luas)
(untuk infeksi pada daerah genitalia)
(memaksimalkan penyerapan nutrisi/suplemen serta memperbaiki kualitas cairan 
tubuh)

Untuk mencegah rekurens berbagai usaha yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan imunitas-imunitas selular dengan memberi levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala dan mengonsumsi produk makanan seaktif enzym SOD, menurut beberapa penelitian memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar sekarang tidak lagi digunakan.     

Prognosis
Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut secara psikologis akan menjadi beban bagi penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang.
Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pada penyakit-penyakit  dengan tumor di  system retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah menyebabkan infeksi ini dapat menyebar kea alat-alat dalam dan menjadi fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.

dapatkan tips-tips kesehatan sehari-hari... yu follow juga @ranhae

Waspada Cytomegalovirus pada Ibu Hamil !!Sangat Mudah Menular!!



Cytomegalovirus (CMV)
       Definisi
Cytomegalovirus (CMV) adalah salah satu anggota kelompok virus herpes simplex tipe 1 dan 2, virus varicela zoster (penyebab cacar air), dan virus Epstein – Bar (penyebab mononukleosis yang menular). CMV dapat timbul disertai oleh beberapa gejala dan timbul dalam jangka waktu yang tidak lama. Seperti halnya virus lain begitu menginfeksi seseorang, virus ini akan akan menetap seumur hidup dan kembali aktif pada waktu tertentu. Biasanya, infeksi selanjutnya bersifat ringan atau tanpa gejala sama sekali. Masalah psikologi seperti stress berat atau penurunan kekebalan tubuh berpotensi menyebabkan tejadinya infeksi klinis. Perlu diketahui bahwa CMV merupakan infeksi virus yang paling sering ditularkan pada janin yang sedang berkembang sebelum dilahirkan. CMV adalah infeksi oportunistik yang menyerang saat system kekebalan tubuh lemah.

Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penularan CMV akan terjadi jika ada kontak langsung dengan cairan tubuh penderita seperti air seni, air ludah, darah, air mata, sperma dan air susu ibu. Bisa juga terjadi karena transplatasi organ. Kebanyakan penularan terjadi karena cairan tubuh penderita menyentuh tangan individu yang rentan. Kemudian diabsorpsi melalui hidung dan tangan. Teknik mencuci tangan dengan sederhana menggunakan sabun cukup efektif untuk membuang virus dari tangan. Golongan sosial ekonomi rendah lebih rentan terkena infeksi. Rumah sakit juga merupakan tempat penularan virus ini, terutama unit dialisis, perawatan neonatal dan ruang anak. Penularan melalui hubungan seksual juga dapat terjadi melalui cairan semen ataupun lendir endoserviks.
Virus juga dapat ditularkan kepada bayi melalui sekresi vagina pada saat lahir atau pada ia menyusu. Namun infeksi ini biasanya tidak menimbulkan tanda dan gejala klinis.
Risiko infveksi kongenital CMV paling besar terdapat pada wanita yang sebelumnya  tidak pernah terinfeksi dan mereka yang terinfeksi pertama kali ketika hamil. Meskipun jarang, sitomegalovirus kongenital tetap dapat terulang pada ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sitomegalovirus kongenital pada kehamilan terdahulu. Penularan dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan tetapi semakin muda umur kehamilan semakin berat gejala pada janinnya.
Infeksi CMV lebih sering terjadi di negara berkembang dan di masyarakat dengan status sosial ekonomi lebih rendah dan merupakan penyebab virus paling signifikan cacat lahir di negara-negara industri. CMV tampaknya memiliki dampak besar pada parameter kekebalan tubuh di kemudian hari dan dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan kematian.

          Patofisiologi
Masa inkubasi CMV :
·         Setelah lahir 3-12 minggu
·         Setelah transfusi 3-12 minggu
·         Setelah transplatasi 4 minggu – 4 bulan
Urin sering mengandung CMV dari beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi. Virus tersebut dapat tetap tidak aktif dalam tubuh seseorang tetapi masih dapat diaktifkan kembali. Hingga kini belum ada imunisasi untuk mencegah penyakit ini.

       Tanda dan Gejala serta Komplikasi
Gejala CMV yang muncul pada wanita hamil minimal dan biasanya mereka tidak akan sadar bahwa mereka telah terinfeksi. Namun jika ini merupakan inveksi primer, maka janin biasanya juga beresiko terinfeksi. Infeksi tersebut baru dapat dikenali setelah bayi lahir. Diantara bayi tersebut baru dapat dikenali setelah bayi lahir. Diantara bayi yersebut hanya 30% diketahui terinfeksi didalam rahim dam kurang dari 15% akan menampakan gejala pada saat lahir. Hanya pada individu dengan penurunan daya tahan dan pada masa pertumbuhan janin sitomegalovirus menampakkan virulensinya pada manusia. Pada wanita normal sebagian besar adalah asimptomatik atau subklinik., tetapi bila menimbulkan gejala akan tampak gejala antara lain:
1.     Mononukleosis-like syndrome yaitu demam yang tidak teratur selama 3 minggu. Secara klinis timbul gejala lethargi, malaise dan kelainan hematologi yang sulit dibedakan dengan infeksi mononukleosis ( tanpa tonsilitis atau faringitis dan limfadenopati servikal ). Kadang-kadang tampak gambaran seperti hepatitis dan limfositosis atipik. Secara klinis infeksi sitomegalovirus juga mirip dengan infeksi virus Epstein-Barr dan dibedakan dari hasil tes heterofil yang negatif. Gejala ini biasanya self limitting tetapi komplikasi serius dapat pula terjadi seperti hepatitis, pneumonitis, ensefalitis, miokarditis dan lain-lain. Penting juga dibedakan dengan toksoplasmosis dan hepatitis B yang juga mempunyai gejala serupa.
2.    Sindroma post transfusi. Viremia terjadi 3 – 8 minggu setelah transfusi. Tampak gambaran panas kriptogenik, splenomegali , kelainan biokimia dan hematologi. Sindroma ini juga dapat terjadi pada transplantasi ginjal.
3.    Penyakit sistemik luas antara lain pneumonitis yang mengancam jiwa yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi kronis dengan thymoma atau pasien dengan kelainan sekunder dari proses imunologi ( seperti HIV tipe 1 atau 2 ).
4.    Hepatitis anikterik yang terutama terjadi pada anak-anak.
Tidak seperti virus rubella, sitomegalovirus dapat menginfeksi hasil konsepsi setiap saat dalam kehamilan. Bila infeksi terjadi pada masa organogenesis ( trimester I ) atau selama periode pertumbuhan dan perkembangan aktif ( trimester II ) dapat terjadi kelainan yang serius. Juga didapatkan bukti adanya korelasi antara lamanya infeksi intrauterin dengan embriopati.
Pada trimester I infeksi kongenital sitomegalovirus dapat menyebabkan prematur, mikrosefali, IUGR, kalsifikasi intrakranial pada ventrikel lateral dan traktus olfaktorius, sebagian besar terdapat korioretinitis, juga terdapat retardasi mental, hepatosplenomegali, ikterus, purpura trombositopeni, DIC.
Infeksi pada trimester III berhubungan dengan kelainan yang bukan disebabkan karena kegagalan pertumbuhan somatik atau pembentukan psikomotor. Bayi cenderung normal tetapi tetap berisiko terjadinya kurang pendengaran atau retardasi psikomotor. Meskipun infeksi sitomegalovirus merupakan infeksi yang paling sering terjadi yaitu 1 % dari seluruh persalinan tetapi hanya 5 – 10 % yang menunjukkan gejala tersebut diatas pada saat kelahiran.
Mortalitas infeksi kongenital cukup tinggi yaitu sebesar 20 – 30 % dan dari yang bertahan hidup 90 % akan menderita komplikasi lambat seperti retardasi mental, buta, defisit psikomotor, tuli dan lain-lain. Gejala lambat juga timbul pada 5 – 15 % dari mereka yang lahir asimptomatik seperti gangguan pendengaran tipe sensorik sebelum tahun kedua.
Virus juga dapat ditularkan kepada bayi melalui sekresi vagina pada saat lahir atau pada ia menyusu. Namun infeksi ini biasanya tidak menimbulkan tanda dan gejala klinis.

          Penatalaksanaan
Tidak ada terapi khusus untuk CMV pada individu yang sehat. Pasien dengan gangguan kekebalan dan mereka yang memiliki gejala mononukleosis atau gejala hepatitis diobati berdasarkan gejala yang timbul atau dengan terapi anti virus.
Yang penting dan perlu diperhatikan bagi wanita hamil yang seronegatif harus mencegah agar tidak terlalu sering kontak dengan anak-anak usia 2 – 4 tahun terutama yang diketahui menderita infeksi sitomegalovirus, dan selalu menjaga kebersihan diri dengan membiasakan selalu mencuci tangan setelah kontak dengan produk cairan anak-anak seperti muntahan, popok dan lain-lain.

Terapi yang disarankan:
-      anti virus (hubungi dokter anda)
-   niwana SOD untuk menetralkan radikal bebas yg meningkat dalam tubuh
untuk meningkatkan imunitas dan membantu regenerasi sel
vitamin C generasi terbaru yang aman bagi penderita tukak lambung
membantu para ibu mengatasi inveksi pada organ wanita yang menjadi salah 
satu media penyebaran virus  


 yu follow juga @ranhae

Kamis, 23 Januari 2014

Rubella pada Ibu Hamil



RUBELLA
Definisi
Rubella atau orang sering menyebutnya campak Jerman disebabkan oleh virus Rubella, bersifat ringan atau akan hilang dengan sendirinya. Anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap virus ini. Namun, penyakit ini akan menjadi serius bila diderita oleh ibu hamil karena dapat berakibat buruk bagi janin yang dikandungnya (Encyclopedia of diseases and the solution, 2012). 
Rubella merupakan penyakit kulit yang bisa menyebabkan lesi makulopapular. Apabila virus rubella terjadi pada perempuan hamil, bisa terjadi keguguran atau janin meninggal di dalam kandungan, paling tidak bayi lahir dengan cacat kongenital.
Rubella dikenal juga dengan cacar jerman atau cacar 3 hari, merupakan infeksi virus yang dijangkitkan oleh droplet (misalnya, droplet dari bersin orang yang terinfeksi). Demam, ruam dan lymphedemia ringan biasanya terlihat pada ibu yang terinfeksi. Konsekuensi pada janin lebih serius dan mencakup keguguran, anomali bawaan (mengacu pada sindrom rubella bawaan) dan kematian. Vaksinasi wanita hamil bersifat kontraindikasi karena infeksi rubella dapat berkembang setelah vaksinasi dilakukan sebagai bagian dari konsultasi prekonsepsional, vaksin rubella diberikan kepada wanita yang tidak kebal terhadap rubella dan mereka dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi selama paling tidak 3 bulan setelah vaksinasi.

Etiologi dan Faktor Predisposisi
Virus ini pertamakali ditemukan di amerika pada tahun 1966, Rubella pernah menjadi endemic di banyak Negara di dunia, virus ini menyebar melalui droplet. Periode inkubasinya adalah sekitar 14- 21 hari.

Patofisiologi
Virus rubella, akan merangsang tubuh untuk menghasilkan IgM dan IgG. Setelah minggu ke 14 kehamilan, akan ditemukan IgM dan IgG dalam tubuh janin. Virus akan merusak sel janin dan menghambat serta mengganggu proses organogenesis. Akibat yang di timbulkan akan berbeda pada setiap usia kehamilan. Berikut adalah jabarannya:

NO
Usia kehamilan
Kelainan
1
2 minggu hingga 1 bulan
50% terjadi aborsi
2
4 sampai 6 minggu
Kerusakan pada lensa mata
3
5 sampai 10 minggu
Katarak
4
4 sampai 9 minggu
Kelainan pada jantung
5
8 sampai 12 minggu
Deafness

            Tanda dan Gejala serta Komplikasi
Rubella menyebabkan sakit yang ringan dan tidak spesifik pada orang dewasa, ditandai dengan cacar-seperti ruam, demam, dan infeksi saluran pernapasan atas. Sebagian besar negara saat ini memiliki program vaksin rubella untuk bayi dan wanita usia subur dan hal ini merupakan bagian dari screening prakonsepsi. Ibu hamil secara rutin diperiksa untuk antibody rubella dan jika tidak memiliki kekebalan akan segera diberikan vaksin rubella pada periode postnatal.  Fakta-fakta terkini menganjurkan bahwa kehamilan yang disertai dengan pemberian vaksin rubella tidak seberbahaya yang dipikirkan.
Infeksi terberat terjadi pada trimester pertama dengan lebih dari 85% bayi ikut terinfeksi.
Bayi mengalami viraemia, yang menghambat pembelahan sel dan menyebabkan kerusakan perkembangan organ. Janin terinfeksi dalam 8 minggu pertama kehamilan. Oleh karena itu memiliki resiko yang sangat tinggi untuk mengalami multiple defek yang mempengaruhi mata, system kardiovaskuler, telinga, dan system saraf. Aborsi spontan mungkin saja terjadi. Ketulian neurosensori seringkali disebabkan oleh infeksi setelah gestasi 14 minggu dan beresiko kerusakan janin sampai usia 24 minggu. Pada saat lahir, restriksi pertumbuhan intrauterine biasanya disertai hepatitis, trombositopenia, dan penyakit nerologis seperti mikrosefali atau hidrosefali.
Bayi-bayi ini sangat infeksius dan bisa mengeluarkan virus rubella dari urinenya sampai 12 bulan. Mereka beresiko infeksi silang pada neonatus yang lain sebagaimana ibu hamil. Pengisolasian diperlukan di rumah sakit dan harus dilakukan perawatan intensif di rumah.
Kerusakan yang paling sering terjadi pada janin akibat virus rubella biasanya berhubungan dengan 3 organ, mata, jantung , dan telinga. Akan tetapi masih ada cakupan lain dari akibat yang timbul karena terinfeksi rubella, diantaranya:
1. Sistem saraf pusat : retardasi mantal dan mikrosefalus.
2. System kardiovaskuler: Myocarditis, necrosis jaringan.
3. Hati: Hepatitis dan jaundice.
4. Darah: throbositopenia, Anemi, dan bone marrow damage
5. Sistem pencernaan : stenosis pylorik.
6. Ginjal: nefritis,stenosis arteri renalis.
7. Tulang: osteoporosis.
8. Paru-paru : phenemonitis
9. Mata: kerusakan retina, gloukouma, dan cludy conea.
10. Umum: IUGR (itra uterine growth retadation)

Sindrom Rubella Kongenital
Pada rubella seperti halnya pada infeksi virus yang lain, konsep tentang bayi yang terinfeksi versus bayi yang terjangkit harus dipahami. Rubella merupakan teratogen yang patogen yang poten, dan 80 % dari ibu yang mendapatkan infeksi rubella serta ruam dalam usia kehamilan 12 minggu akan mempunyai janin dengan infeksi kongenital (Miller dkk, 1982). Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14 insiden ini besarnya 54 %, dan pada akhir trimester dua 25 %. Dengan semakin tinggi usia kehamilan, semakin kecil kemungkinan bagi infeksi tersebut untuk menyebabkan malformasi kongenital. Sebagai contoh, cacat rubella terlihat pada semua bayi yang terbukti menderita infeksi intrauterin sebelum usia gestasional 11 minggu, namun hanya 35 % bayi yang terinfeksi pada usia gestasional 13 hingga 16 minggu. Meskipun tidak terlihat cacat pada 63 anak yang terinfeksi setelah usia gestasional 16 minggu, namun anak-anak tersebut hanya diikuti perkembangan selama 2 tahun, dan extended rubella syndrome dengan panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1 mungkin baru terlihat secara klinis setelah usia 20 atau 30 tahun. Kemungkinan sepertiga dari bayi yang asimptomatik pada saat lahir akan memperlihatkan cedera pertumbuhan tersebut (American College of Obstetricians and Gynecologist, 1988). 
Bayi-bayi yang ibunya mendapatkan penyakit tersebut setelah trimester pertama, tidak selalu berada dalam keadaan sehat, seperti diperlihatkan oleh Herdy dkk. (1969). Penelitian epidemiologi prospektif jangka panjang yang mereka lakukan untuk memeriksa dampak epidemi rubella yang luas pada tahun 1964 di Amerika mengungkapkan, 24 kasus dengan bukti serologis adanya infeksi rubella setelah trimester pertama. Dari 22 bayi yang lahir hidup, hanya 7 yang dianggap benar-benar normal setelah diikuti perkembangannya selama periode waktu sampai 4 tahun.
Sindrom rubella kongenital mencakup satu atau lebih abnormalitas berikut:
1.     Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma, mikroftalmia, dan berbagai abnormalitas lainnya.
2.    Penyakit jantung, termasuk patent ductus arteriosus defek septum jantung dan stenosis arteri pulmonalis.
3.    Cacat pendengaran.
4.    Cacat sistem syaraf pusat termasuk meningoensefalitis.
5.    Retardasi pertumbuhan janin.
6.    Trombositopenia dan amenia.
7.    Hepatosplenomegali dan ikterus.
8.    Pneumonitis interstisialis difusa kronis.
9.    Perubahan tulang.
10.  Abnormalitas kromosom.
Bayi-bayi yang dilahirkan dengan rubella kongenital dapat menyebarkan virus selama berbulan-bulan dan dengan demikian merupakan ancaman bagi bayi lainnya, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi tersebut.
            Penatalaksanaan
Diagnosis rubella kadang kala sulit ditegakkan. Bahkan hanya gambaran klinisnya yang serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan viremia dan infeksi pada embrio serta janin tidak terdapat. Tidak adanya antibodi terhadap rubella menunjukan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan adanya respon imun terhadap viremia rubella, yang mungkin sudah diperoleh di suatu tempat sejak beberapa minggu atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi rubella maternal terlihat pada saat terpapar rubella atau sebelumnya, maka kekhawatiran ibu bisa dikurangi karena kemungkinan janin terkena infeksi tersebut sangat kecil.
Orang yang tidak kebal dan mendapat viremia rubella akan memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu sesudah dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia, mengingat viremia secara klinis terlihat terlebih dahulu sebagai penyakit yang nyata sekitar 1 minggu sebelumnya. Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit serodiagnosis, kecuali jika serum telah diambil terlebih dahulu dalam waktu beberapa hari sesudah dimulainya gejala ruam. Jika misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari sesudah ruam, maka deteksi antibodi tidak akan berhasil membedakan diantara kedua kemungkinan ini:
1.     Bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-benar rubella.
2.    Bahwa penyakit tersebut bukan rubella, namun orang tersebut sudah kebal terhadap rubella.
Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer dalam beberapa bulan. Preparat kemoterapeutik atau antibodi yang akan mencegah viremia pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella, tidak terdapat. Penggunaan gamma globulin untuk  ini tidak dianjurkan.
Tanda tanda dan gejala infeksi Rubella sangat bervariasi untuk tiap individu, bahkan pada beberapa pasien tidak dikenali, terutama apabila ruam merah tidak tampak. Oleh Karena itu, diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-Rubella IgG dan IgM.
Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.
jika telah didapatkan hasil pemeriksaan positif;
Hendaknya melakukan upaya peningkatan daya tahan tubuh seperti makan makanan yang kaya akan zat gizi, cukup istirahat dan banyak minum.



Terapi yang Disarankan:
- anti rubella (hubungi dokter spesialis)
- Niwana SOD 2 x 1 sachet {1 jam sebelum makan} 
  (untuk meningkatkan daya tahan tubuh)
- Super Green Food 2 x 10 tablet {2 jam setelah makan}
(memenuhi kebutuhan vitamin & mineral tubuh, regenerasi dan pemulihan sel)
- pureway-C 2 x 1000mg {setelah makan}
(sebagai anti oksidan berat molekul rendah)


Pemeriksaan
1.     Single radial haemolysis (SHR) test.
2.    Pemeriksaan serologi.
3.    Pengambilan culture dari pharynx, dan urine. Jika hasilnya positif itu artinya telah terdapat lebih 15.000 IU/liter atau dengan rasio 1:10, dan artinya pasien tersebut telah memiliki imunitas  dan atau telah mendapatkan vaksinasi. Jika ketika hamil dilakukan tes ini, dan hasil test kurang dari 1:8, maka wanita tersebut harus mendapatkan vaksin rubella setelah melahirkan.
Prenatal
Seorang wanita hamil yang terinfeksi rubella, memiliki resiko yang kecil. Akan tetapi, tergantung pada usia gestasi pada saat terinfeksi, kemungkinan janin beresiko sangat besar untuk mengalami kelainan congenital. Metoda untuk diagnosis dalam rahim meliputi pemeriksaan sample darah janin untuk rubella-spesifik IgM, membalikkan reaksi rantai transkripsi polymerase rubella secara spesifik (RT-PCR), dan isolasi virus dari cairan amnion atau hasil konsepsi. RT-PCR dapat mendeteksi kehadiran viral RNA, walaupun IgM spesifik virus rubella janin yang dihasilkan oleh sampel darah janin negatif. Walaupun tes-tes ini bisa menunjukkan adanya infeksi janin, konseling biasanya berdasarkan pada usia gestasi sehubungan dengan resiko kelainan congenital. Tidak ada pengobatan lain selain terminasi kehamilan jika memungkinkan.
Perawatan untuk infeksi maternal akut yang umumnya memiliki gejala. Jarang, pasien yang menderita trombositopenia atau ensefalitis selamat dari glukokortikoid atau transfuse platelet. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa immunoglobulin mencegah kelainan janin.
  
yu follow juga @ranhae